Petani Tembakau: Semoga Panen Ini Bisa Beli Motor Baru

Oleh SU Herdjoko

TEMANGGUNG – Petani golongan mana yang menyukai musim kemarau tiba? Itulah dia petani tembakau. Sejak mereka menanam, maka mereka berharap hujan jangan turun lagi. Bila hujan turun, itu alamat bencana. Tanaman tembakau menjadi rusak.
Di kawasan lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, di Kabupaten Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah; di sanalah ribuan petani tembakau menggantungkan hidupnya pada musim kemarau. Bila kemarau tiba, mereka sudah siap menanam tembakau sebagai tanaman andalan.

Akan tetapi, petani sebagai produsen ternyata tidak bisa berkutik soal harga jual tembakau. Harga jual tetap berada di tangan pabrik rokok sebagai konsumen utama, kemudian pedagang besar, ataupun tengkulak.

“Saya tidak tahu harga tembakau kali ini berapa. Panen pertama disebut sebagai totol (kelas) A. Ini adalah daun-daun terbawah dan harganya rendah,” kata Sarwanto, petani dari Desa Kalikuto, Kecamatan Kretek, Kabupaten Wonosobo.

Sarwanto bersama Pawit dan Sugiman sibuk menata daun-daun tembakau hasil petikan pagi hari. Daun-daun itu selanjutnya akan dirajang pada sore hari, bahkan dikerjakan semalaman hingga dini hari. Hari berikutnya akan dijemur hingga kering dan siap dimasukkan ke keranjang untuk kemudian dijual ke pengepul tembakau.

“Harga terendah tahun lalu Rp 12.000. Itu totol A (kelas A). Bila pada petik selanjutnya, daun tembakau itu bisa termasuk dalam totol B dan harganya bisa lebih tinggi. Daun terbaik (totol E hingga F) bisa di atas Rp 40.000 per kilogramnya,” kata Sarwanto.

Sayangnya, para petani tidak tahu masuk level mana tembakau yang mereka panen. Para grader (penaksir level tembakau) ataupun pedagang pengepul bisa seenaknya menilai kualitas tembakau petani. Mereka tinggal menunggu para petani datang dengan beberapa keranjang tembakau, kemudian membongkarnya, melihat, menjamah, dan membauinya. Dari sana, pedagang ataupun grader bisa menentukan masuk level mana tembakau itu.

“Kami memang tidak berdaya. Masuk totol mana tembakau saya? Pokoknya saya berusaha memanen tepat waktu, merajang sesuai standar, menjemur hingga kering, dan mengepak dalam keranjang sebaik mungkin. Bila harganya tinggi, saya senang, tetapi bila ditentukan totolnya terendah; kami tidak bisa apa-apa,” kata Rohmadi, petani dari Keparakan, Temanggung.

Kejayaan Masa Silam
Kisah kejayaan petani tembakau Temanggungan (daerah Temanggung dan Wonosobo yang dikenal sebagai tembakau pegunungan) terjadi pada tahun 1970-1980. Pada musim panen, misalnya, meski kala itu listrik belum masuk desa, petani di pegunungan lereng Gunung Sindoro dan Sumbing itu membeli kulkas. Lemari es itu sebagai simbol kekayaan. Jangan kaget bila lemari es itu akhirnya hanya difungsikan sebagai almari pakaian. Jadilah almari es berisi sarung!

Tapi itu dulu. Sejak tahun 1990-an, pola hidup petani tembakau berubah. Pada masa panen, para dealer sepeda motor berebut memasarkan motornya ke kampung-kampung. Hasilnya, laris manis bak pisang goreng. Satu truk bisa satu hari habis diborong para petani. Urusan surat-menyurat motor, itu bagian dari servis dealer motor.
Sayangnya, petani sebagai produsen tetaplah sebagai pihak yang kalah. Yang menanggung risiko gagal panen tetaplah mereka, padahal telanjur mengeluarkan modal tanam yang besar. Mereka yang terpaksa rugi, termasuk bila harga jual rendah akibat permainan pedagang, tengkulak ataupun pabrikan.

Kisah merosotnya harga tembakau Temanggungan terjadi sejak tahun 2000. Kala itu, harga per kilogram mencapai Rp 43.000, harga itu kemudian anjlok menjadi Rp 24.000 pada tahun 2001, lalu merambat naik menjadi Rp 25.000 pada tahun 2002. Akan tetapi harga itu kemudian jatuh menjadi Rp 14.000 pada tahun 2003.

Harga tidak menentu itu membuat nasib petani juga ikut tidak menentu. Apakah panen kali ini bakal menjadi orang kaya atau justru menanggung utang; itu belum bisa mereka ramalkan.

“Yang untung ya para pedagang dan pabrik. Kami ini yang sewaktu-waktu bisa bangkrut. Mungkin impian saya membeli sepeda motor baru bisa tidak terwujud,” kata Rohmadi.

Unjuk rasa petani tembakau Temanggungan yang tergabung dalam Paguyuban Petani Tembakau Wonosobo terjadi tahun lalu. Selama ini, mereka merasa dirugikan dengan banyaknya mata-rantai perdagangan antara petani dan pabrik. Petani sebagai produsen tembakau justru yang dirugikan karena tidak tahu berapa kebutuhan pabrik dan berapa sebenarnya harga yang tepat untuk tembakau mereka.

Mata rantai yang menangguk untung tanpa harus menanggung rugi itu adalah para ceker, pedagang pengepul, tengkulak, hingga orang-orang kepercayaan pabrik. Para anggota Paguyuban Petani Tembakau Wonosobo yakin jika mata rantai itu dihapus, para petani akan menikmati hasil panen seperti yang mereka harapkan. Harga tembakau tidak akan menjadi murah gara-gara “habis dimakan” dalam perjalanan hingga ke pabrik itu.

Data dari Dinas Perkebunan Jawa Tengah menyebutkan bahwa luas lahan dan produksi tembakau Jawa Tengah pada tahun 2001 adalah 59.681 hektare dengan hasil 38.794 ton, kemudian tahun 2002 ada 63.040 hektare dengan hasil 42.727 ton. Luasan lahan itu menciut menjadi 50.238 hektare pada tahun 2003 dengan hasil 29.214 ton, dan diperkirakan luas lahan tahun 2004 ada 49.133 hektare dengan hasil 32.560 ton.

Hasil panen tembakau petani di Jawa Tengah itu memasok 26 persen dari kebutuhan pabrik rokok. Sisanya yang 74 persen justru dipasok dari tembakau luar Jawa Tengah seperti Madura, Ngawi, Besuki, Jombang, dan daerah lainnya.

Kebutuhan tembakau rajangan itu pada tahun 2005 sebanyak 19.850 ton yang meliputi jenis tembakau Temanggungan 10.650 ton, tipe Muntilan 2.400 ton, Boyolali 450 ton, Mranggen 2.100 ton, dan Weleri 4.275 ton.

Tembakau itu diserap oleh pabrik rokok seperti Djarum, Gudang Garam, Sampoerna, Bentoel, Nojorono, Gentong Gotri, Jambu Bol, dan pabrik-pabrik kecil lainnya.(Sinar Harapan, Selasa, 14 Agustus 2007)
Read more...